Friday, August 22, 2014

Jeritan Anak Palestina

Bayangkan jika kamu punya segudang harapan, tapi tiba-tiba harapan itu buyar dan lenyap entah kemana. Atau kamu punya impian yang begitu indah, tapi kemudian tak pernah menjadi kenyataan. Menyakitkan bukan? Nah, realitas seperti inilah yang kini harus diterima anak-anak Palestina. Betapa pun getirnya kenyataan itu, toh akhirnya memang harus ditelan. Karena hidup memang tak selamanya bisa memilih.
    Mohammad al-Durra, bocah Palestina berusia 12 tahun harus meregang nyawa ditembus peluru serdadu Yahudi Israel pada 30 September 2000 lalu saat terjadi bentrokan berdarah antara polisi Israel dan warga muslim Palestina di Netzarim, Jalur Gaza. Dan kalo kamu rajin baca berita, pasti bisa mendapatkan foto ‘ekslusif’ yang diabadikan oleh dua wartawan Palestina yang bekerja untuk TV Perancis. Foto tersebut seolah ‘berbicara’ dan menjelaskan bagaimana biadabnya serdadu Israel ketika membantai Mohammad al-Durra yang berada dalam pelukan ayahnya.
    Mohammad al-Durra dan puluhan remaja seusianya harus rela kehilangan masa depan. Berjuta impian yang sudah dirajut harus punah dalam sekejap. Beribu harapan sirna dalam hitungan detik. Ya, itu adalah kenyataan yang memang pahit dan getir. Brur, ini akan terus terjadi dan bakal terulang bila ummat Islam cuma diam—atau paling banter cuma mengutuk—tapi tindakan nyata kita tak pernah ada. Jelas, itu akan membuat orang-orang Israel besar kepala, dan akan merasa enteng melenyapkan nyawa orang-orang Palestina. Republika melaporkan, sampai tanggal 3 Oktober saja sudah 57 orang tewas dan 1.000 lainya luka-luka. Kawan, itu saudara-saudara kita. Masihkah kita cuek alias nggak peduli dengan  nasib saudara kita di sana?
    Ya, Palestina kembali membara kawan, setelah Ariel Sharon (ketua Partai Likud, Israel) melakukan kunjungan kontroversialnya ke Masjid Al Aqsha di Yerusalem Timur, 28 September 2000. Karuan saja kunjungan tersebut diprotes warga Palestina karena dianggap penghinaan terhadap ummat Islam. Nah, sekarang kamu bakal diajak untuk mengasah kesadaran politik (wa’yu siyasi) sekaligus kepedulian kamu terhadap nasib saudara kita di kawasan Timur Tengah itu (tentang masalah politik, bisa kamu baca kembali Studia edisi 025/Tahun I).       
   
Keberanian Anak Palestina
Sekitar 300 anak Palestina berusia antara lima hingga delapan tahun berkumpul di kantor Komite Palang Merah Internasional di Tyre, Lebanon Selatan. Mereka duduk di halaman itu sambil membawa sejumlah poster dan spanduk yang bernada marah. Bayangin Brur, mereka semuanya masih anak-anak, tapi pikirannya sudah ‘dewasa’. Mereka tahu apa yang harus dilakukannya.
Dan mereka ternyata bukan cuma duduk-duduk doang Non, tapi juga ‘bersuara’ lewat spanduk yang mereka buat, seperti dikutip oleh Republika, 5 Oktober 2000 lalu. “Kami semua adalah saudara syuhada Mohammad al-Durra.” Lalu dalam spanduk lain berbunyi, “Israel telah membantai anak-anak Palestina.”
Brur, ternyata bukan cuma itu yang dilakukan anak-anak Palestina yang gagah berani ini. Para bocah yang berasal dari tiga tempat kamp pengungsi di Tyre itu bak orang dewasa saja. Mereka juga membawa sejumlah plakat yang bisa menggelorakan semangatnya.
“Berjuang dan angkat senjata, satu-satunya jalan untuk membebaskan tanah Palestina.” “Palestina bertanggungjawab terhadap semua yang ada pada kami,” bunyi lainnya.
Teman-teman remaja, dua hal yang bisa menganggap rintangan sebagai tantangan adalah semangat dan keberanian. Tentu keberanian yang berhasil dimunculkan dari akidah yang benar. Akidah Islam yang kuat dan bersih. Dan sekarang ‘kebetulan’ banyak dimiliki anak-anak Palestina.
“Saya ingin membunuh orang Israel seperti mereka membunuh saudara kami Mohammad al-Durra,” kata Mohammad Natour, 14 tahun. Heroik memang. Terlepas dari sikap emosional anak-anak, tapi yang pasti itulah kenyataannya.
Belum lagi semangatnya Khaled Hamad, 11 tahun, yang membalur lumpur di wajahnya dan mengangkat bendera Palestina lalu mengatakan, “Jika bisa menembak Israel, saya tidak ragu-ragu lagi.” Hebat. Lalu, Brur, masih ada anak yang mampu melihat dengan mata hati dan pikirannya, seperti Ihab al-Sadid, anak berumur 12 tahun ini sangat kesal dengan aksi brutalnya tentara Israel yang menembaki anak-anak Palestina, ia mengatakan, “Mereka membunuh anak-anak. Sebab, mereka takut kalau nanti besar dan akan melawannya.” Tuh, anak seumuran SD saja sudah bisa berpikir jauh ke depan. Tentu pikiran seperti itu nggak muncul begitu saja, tapi ada proses. Siapa tahu, memang anak-anak itu dididik oleh orang tuanya untuk menjadi pejuang Islam yang gagah berani. Masih nggak percaya?  Coba kamu simak pernyataan Ridha Saleh, anak berumur 13 tahun, dengan mengenakan seragam militer, dan meminta wartawan foto untuk mengambil gambarnya. Ia mengatakan, “Saya juga ingin mati syahid, dan hanya ingin mati di sana.” Wah, wah, wah, benar-benar hebat. Kamu bisa seperti adik kita itu? Harus bisa!

Palestina Tanah Kita
Khalifah Abdul Hamid II berkomentar dengan tegas, tatkala Theodore Hertzl (penggagas gerakan Zionis) meminta tanah Palestina di tahun 1897,  “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik ummatku.” Mendengar komentar seperti ini karuan saja Hertzl murka. Bahkan lantaran komentar ini pula, ia kemudian melakukan persekongkolan untuk memecat Abdul Hamid II dari jabatan Khalifah.
Tentang Palestina ini, sebetulnya sudah dilindungi pula dengan sebuah perjanjian di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu Khalifah Umar membuat perjanjian yang terkenal dengan nama Al Ihdat Al ‘Umariyyah (perjanjian Umar), yang berbunyi, “...atas nama Islam dan kaum Muslim. Isinya antara lain, ‘Tidak boleh seorang Yahudi pun tinggal bersama kaum muslimin di Baitul Maqdis.” (Ibnu Jarir Ath Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, pada judul “Iftitah Baitul Maqdis”—Penaklukan Baitul Maqdis).
Setelah Khilafah Islamiyyah (pemerintahan Islam) runtuh orang-orang Yahudi seperti menuntut balas. Maka dalam kondisi kaum muslim yang lemah mereka berusaha mencari dukungan Amerika dan PBB untuk mendirikan negara Israel Raya. Kamu bisa simak bagaimana para kekentong alias pentolan Yahudi ‘bersuara’ untuk mengesahkan tindakan brutal mereka dalam merampok tanah Palestina. “Negeri ini berdiri semata-mata akibat janji Tuhan sendiri. Oleh karena itu, meminta  pengakuan atas keabsahannya tentulah tindakan yang menggelikan,” teriak Golda Meir, PM wanita Israel pertama dengan sewotnya. “Negeri ini telah dijanjikan kepada kita dan karena itu berhak sepenuhnya atas tanah itu,” ujar Menachem Begin. Brur, orang inilah yang berhasil menggiring Presiden Anwar Sadat ke meja perundingan Camp David yang direkayasa oleh Amerika dan Israel sendiri.
Seperti satu suara dengan teman-temannya, Moshe Dayan, jenderal Israel yang terkenal keji dan selalu menutup sebelah matanya berkomentar tak kalah menyakitkan, “Jika terdapat buku injili, serta bangsa injili, maka haruslah ada pula negeri injili,” Dan ada satu lagi pernyataan yang bikin ‘gerah’ kita, “Negeri ini merupakan rumah historis bangsa Yahudi,” demikian pernyataan dalam memorandum organisasi Zionis tahun 1919. Wah, keterluan sekali “bangsa kera” itu, ya Brur? Yes, memang kurang ajar!
Tapi benarkah alasan mereka itu? Bohong besar Brur. Suer, kamu perlu tahu pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Roger Geraudy, seorang intelektual Nasrani asal Perancis yang kemudian masuk Islam, “Ia sama sekali tidak mempunyai keabsahan, baik secara historis, injili, maupun yuridis untuk berdiri di tempat yang ia tegakkan sekarang ini,” tegasnya dalam buku yang ditulisnya, The Case of Israel a Study of Political Zionism.
Jadi dengan demikian memang tanah Palestina itu adalah milik kita, bukan milik “bangsa kera” itu. Setiap jengkal dari tanah milik kaum muslimin tidak boleh dikuasi oleh orang-orang kafir. Nekat menjarahnya berarti urusannya darah. Kita tegas aja, Brur!
Maka solusinya adalah seperti yang dilontarkan oleh salah seorang bocah palestina di atas. Apa itu? “Angkat senjata dan basmi orang-orang Yahudi Israel terkutuk itu!” Memang hanya itu satu-satunya jalan, nggak ada jalan lain. Jangan memaksakan berdamai, toh perundingan damai cuma buang waktu saja.
Bagaimana dengan Kita?
    Ya, itu masalahnya. Kita dan anak-anak Palestina memang dipisahkan oleh ruang dan waktu. Antara kita dengan anak-anak Palestina terbentang lautan dan daratan yang luas sekali. Tapi, sebetulnya kita punya rasa, kita punya cinta, dan kita punya luka yang sama dengan mereka.
    Sobat, mereka siap menggelorakan semangat jihad untuk mengusir serdadu Israel yang telah merampok tanah mereka. Kamu jangan cuek menyaksikan kejadian ini.
    Coba, ketika anak-anak Palestina meregang nyawa ditembus peluru Israel, kira-kira kita sedang ngapain. Main basket? Atau tidur nyenyak? Atau malah sedang tawuran dengan teman sekolah lain? Ironi bukan?
    Juga, ketika teman-teman kita menderita di pengungsian akibat diusir dari negeri mereka sendiri, kita sedang berbuat apa? Main gim? Pacaran? Nonton konser musik? Atau malah sedang asik melahap makanan ‘bule’ di resto kelas wahid dengan harga selangit? Lalu dimana rasa peduli kita terhadap saudara sendiri?
    Kawan, anak-anak Palestina sudah kenyang dengan segala penderitaan dan kekecewaan akibat ulah orang-orang Yahudi yang menggasak tanah mereka dan mengusirnya bak pesakitan. Sekali lagi itu adalah saudara kita. Saudara yang seharusnya ‘bersatu’ dalam suka dan duka, dalam sedih dan gembira. Masihkah kita mengatakan, bahwa itu adalah orang lain? Tidak kawan, mereka adalah kita. Ya, kita. Bukan siapa-siapa dan bukan orang lain. Kaum muslim di Palestina, Uzbekistan, Tajikistan, Kashmir, Filipina, atau di negeri sendiri; Ambon, Aceh dan yang lainnya, pokoknya seluruh kaum muslimin di penjuru dunia ini adalah saudara kita. Kita dipersatukan dan dipersaudarakan dengan Islam. Bukan dengan yang lain. Kalau pun sekarang kita nggak merasa bahwa itu saudara kita karena kita menganggap beda daerah, beda bahasa, dan beda negara. Itu adalah kesalahan besar. Ya, salah besar sobat! Ternyata ide nasionalisme telah membuat ‘dinding tebal’ di antara kita. Sehingga kita nggak bisa ‘menengok’ saudara kita yang tengah menderita.  Kita menjadi orang super cuek alias nggak mau peduli dengan urusan saudara kita sendiri. Tolong, sikap seperti itu jangan dipelihara, itu berbahaya bin gawat. Sekali lagi, kita bersaudara, bahkan seharusnya merasa sakit bila saudara kita disakiti dan merasa senang bila saudara kita berhasil. Sudahkah kita memiliki rasa itu?
    Hadits ke-13 dari kumpulan Hadits Arba’in karya Imam Nawawi tertulis, “Dari Abu Hamzah (yaitu) Anas bin Malik r.a. pelayan Rasulullah saw., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir r.a berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal berkasih sayang dan saling mencintai adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badannya merasa kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain turut merasa sakit” (HR. Bukhari-Muslim)
Dua hadits tadi cukup memberikan ‘sentuhan’ kepada kita, bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya adalah ibarat satu tubuh. Kita bersaudara, sayang. Nggak mungkin dong, tangan kiri kita kejepit pintu, eh, tangan kanan malah ‘nyukurin’. Kan aneh ya, nggak? Nah, begitu pun dengan saudara kita di Palestina, mereka lagi menderita, gokil dong kalo kita cuek bahkan nggak mau tahu banget. Itu namanya muslim ‘biadab’. Jangan sampe deh nurani kita begitu bebal. Kita kan bukan batu. Kita manusia yang memiliki perasaan. Rasa cinta, rasa sayang, dan ‘berjuta’ rasa lainnya. Sebaiknya memang kita merenungkan kembali firman Allah swt., sekaligus meneladani Rasul-Nya,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS: al-Fath: 29)
Kita harus peduli dengan nasib saudara kita di belahan bumi manapun termasuk Palestina. Bisa kan, Brur?
Tentu Brur, bila Khilafah Islamiyyah (pemerintah Islam) belum runtuh, kejadiannya bakal lain. Suer, kamu lihat sikap Khalifah Abdul Hamid II begitu tegas dan berani menghadapi ‘rengekan’ Theodore Hertzl yang meminta tanah Palestina. Pernyataan Khalifah Abdul Hamid II sama saja dengan mengajak perang kepada kaum Yahudi, hebat bukan?
Jadi bagaimana sekarang? Memang solusi untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel adalah dengan mengangkat senjata. Berarti pemecahannya adalah dengan jihad. Kamu perlu tahu, bahwa jihad adalah fardhu ‘ain bagi penduduk yang berada di daerah konflik (Palestina dan sekitarnya), sedangkan bagi yang jauh seperti kita di sini, ‘jatuhnya’ adalah fardhu kifayah (tapi kita harus siaga, siapa tahu orang Yahudi kemudian melipat-gandakan kekuatannya). Jadi langkah praktisnya, kita bisa mengirimkan bantuan baik berupa uang ataupun senjata untuk mereka. Ya, paling minimal banget wujud peduli kita adalah dengan mendoakan mereka supaya tetap kuat melawan orang-orang Yahudi itu, Brur.n




0 comments:

Post a Comment